30 September 2024

Pandiran warung: "Bungul haja balum, handak bapadah pintar!"

Pandiran warung: "Bungul haja balum, handak bapadah pintar!"


Ujaran itu seringkali kami jadikan gagayaan dengan beberapa kawan jika mengomentari sesuatu lelucon terkait kemampuan berfikir seseorang atau kadang pula kaitan pada kisah-kisah kecerdikan tokoh Palui yang seringkali mengkadali teman-temannya.


Bungul bisa diartikan dengan bodoh tapi dalam pronounce sehari-hari kita di Banua (Banjar) kadang menunjukan lebih dari sekedar bodoh. Lebih parah dari tolol. Maka tidak heran diksi "bungul" ini tabu untuk diucapkan. Selain berbahaya sebab mampu menyinggung keras orang lain (urusan panyawaan), karena sebagian kita di banua jika disebut "bungul" seperti menginjak-injak harga diri, siapapun. Baik yang memang dasar "bungul" apatah lagi yang kada "bungul". Tetapi ada pula di beberapa wilayah kita, ucapan bungul ini jadi makanan sehari-hari. Jadi memang ada situasi lingkungan yang dalam percakapan keseharian menyematkan kata "bungul" sebagai hal biasa saja. Lumrah. Tidak ada ketersinggungan di antara mereka. 


Bagaimana kondisi "bungul haja balum, handak bapadah pintar?" Ini jelas sindiran satire yang ingin mengatakan bahwa tingkat kebodohannya teramat sangat. Setali tiga uang dengan ujaran; "bungul pada sapi."


Sedihnya, dalam satu rilis data, ternyata rata-rata manusia Indonesia menempati ranking bawah tingkat IQ-nya. Jauh di bawah Jepang dan Cina. Di kacangi negara Myanmar. Terburuk se-Asia Tenggara. Lalu kita kemudian bertanya, kok bisa?


Apakah karena sampai sekarang sistim pendidikan kita (kurikulum) lebih sering bermain roullet ala Rusia. Trial error. Untung-untungan. Jika gagal, bisa saja dirubah atau dipakai metode lainnya. Begitulah seterusnya, seiring pergantian rezim. Bedanya, korban roulet rusia ala kementerian pendidikan ini mencapai lintas generasi. Karna hampir tiap generasi merasakan perlakuan dan pengalaman mendapatkan pengajaran yang berbeda dari generasi sebelum dan sesudahnya. 


Sudahlah anggaran pendidikan rendah, saprasnya juga (sebagian besarnya) buruk, kurikulumnya malah mengadopsi metode trial error. Kalah sama spirit minyak telon; "buat anak kok coba-coba!" Kondisi ini semakin diperparah jika memang benar mulai tahun depan anggaran pendidikan (yang minim itu) mesti dikurangi kembali demi memenuhi janji politik makan gratis anak-anak. Celakanya, konon kabarnya, anak-anak yang jadi target utama program ini justru prosentasi lebih besarnya adalah anak-anak pra sekolah. WTF!


Biaya pendidikan dipotong untuk memenuhi makan bergizi senilai tujuh ribu perak, lantas yang jadi sasaran utama program justru anak pra sekolah? Ingat, anak pra sekolah. Anak bayi dan usia balita yang biasa ada di PAUD? 


Jika benar, lalu korelasinya apa? Memotong anggaran pendidikan demi apa dan untuk siapa? Menciptakan generasi emas? Emas yang bagaimana? e...ee.....mas? Mas Mulyono?


Dengan kondisi macam itu, di mana data berbicara tentang rendahnya IQ alias tingkat kecerdasan penduduk jauh di bawah negara asia lainnya, masihkah kita berharap sistim politik elektoral ala demokrasi yang sekarang bisa menghasilkan negarawan dan teknokrat dari hasil pemungutan suara rakyat? 


Kalo kata Socrates, sih, "Ngimpi!"


Fakta lainnya, lebih dari 50 persen orang terkaya di negara ini adalah mereka yang bermain di sektor-sektor yang bersumber dari natural resource alias dari bisnis yang mengandalkan; "ambil, jual!" Mereka gali lantas jual. Mereka keruk lantas jual. Mereka tebang lantas jual. Sesederhana itu. Maka hadirlah sultan-sultan di sektor migas, sektor tambang, sektor kelautan dan sektor perkebunan. Lalu di mana iklim inovasi dan kemampuan pada sektor teknologi? Nol besar. 


Menyakitkan? Memang! 


Artinya, dunia pendidikan kita sekian dasawarsa ini telah gagal menumbuhkan para inovator dan kreator. Jikapun ada sebagian kecilnya malah tak pernah pula mendapatkan tempat dan perhatian yang layak. Apakah karena permainan russian roullet yang acapakali dilakukan pemerintah, who knows? Entah. Tapi bahwa ada persoalan besar di negeri ini, kita tak bisa mengelak. Bahwa betapa rapuhnya dunia pendidikan kita yang sudah dan sedang terjadi, fakta adanya.


Kita saksikan realitas menyakitkan ketika perguruan-perguruan tinggi di Belanda sekarang (katanya) tak lagi bisa menerima lulusan high school di Indonesia. Sedang di beberapa negara eropa lain kini juga menerapkan syarat tinggi pada angka minimum nilai bagi lulusan SMU pasca dihilangkannya UNAS (UN). Tentu kondisi "penolakan" negara Barat ini tak lepas dari buruknya tata kelola pendidikan kita. Cap sebagai negara paling buruk se Asia Tenggara tingkat IQ masyarakatnya mestinya jadi perhatian serius para penguasa dan tentu seluruh eleman masyarakat. 


Di saat dunia luar hampir serentak concern menghadapi pertarungan dengan masifnya kemunculan perangkat kecerdasan buatan, sedang kita baru sebatas gembar-gembor bicara soal merdeka belajar, merdeka mengajar. Agak aneh jika membandingkan usia kemerdekaan negara ini yang sudah tujuh dasawarsa lebih. Metode pendidikan ala Finlandia dan Jepang, misal, yang notabene jadi kiblat keberhasilan dunia pendidikan, jelas akan membuat kita tertatih-tatih jika ingin mengejarnya. 


Belum lagi beban kerja pendidik yang dijadikan tuntutan tak seiring sejalan dengan pemenuhan kesejahteraannya, reward pada guru honor yang sangat jauh dari nilai kelayakan, misal. Ini masalah krusial. Jadi jangan heran jika saat ini dunia pendidikan pada akhirnya hanya melahirkan para calon-calon buruh yang kelak ketika ia masuk dalam dunia kerja akan mengulang pola yang sama sebagaimana yang pernah ia terima dan alami selama berstatus pelajar/mahasiswa. Kampus dan universitas tak lebih dari pencetak tenaga kerja yang minim keterampilan sebab dijejali pembelajaran yang belum begitu mampu menjawab tantangan dan kebutuhan dunia kerja (ilmu terapan) saat ini.


Kondisi itu malah diperparah dengan tontonan kelakuan para elit yang hanya tertarik mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara yang tercela. Melanggar hukum, korup, mempermainkan pasal dan undang-undang, mengeluarkan kebijakan(?) serampangan serta pertunjukan konyol yang jauh dari nilai-nilai luhur seorang negarawan. 


Akibat paling menyedihkan adalah, pemberian kekuasaan pada orang-orang yang tidak pantas memilikinya. Demokrasi yang dijalankan berasal dari ketidaksetaraan pengetahuan inilah yang justru jadi pungkala dasarnya. Tidak salah jika ada ujaran; "pemimpin bodoh lahir dari para pemilih yang bodoh."


Kadang, sebagian dari kita merasa khawatir. Jika kondisi macam ini tak jua menemukan muaranya, maka sepuluh atau dua puluh tahun akan datang, akan jadi apa negeri ini. Akan menghadapi situasi bagaimana anak dan cucu kita. Apakah selalu akan menjadi korban russian roulette yang ujungnya berakhir pada kesimpulan; "jangan handak pintar, bungul haja balum..."


(Kayla Untara, 23/09/2024)

Makam Penghulu Muda Yuda Lalana (Syaikh Abu Sulaiman Safjana).

 Makam Penghulu Muda Yuda Lalana (Syaikh Abu Sulaiman Safjana). Letak: Jalan Sarigading, Desa Jatuh, Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sung...